Rabu, 27 Juni 2012

Indonesia Negara Gagal?

.Al Amin Nur Nasution ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis dinihari , 10 April 2008, di hotel mewah Ritz Carlton, Jakarta. Bersama anggota Komisi Kehutanan DPR dan Ketua PPP Wilayah Jambi itu diringkus pula Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bintan, Azirwan, dua stafnya, dan seorang wanita muda.
KPK menuduh Amin menerima suap dari Azirwan guna mengalihkan fungsi hutan lindung di Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai barang bukti disita uang Rp 71 juta dan 33.000 dollar Singapore. Peristiwa ini menjadi berita besar, terutama di segmen hiburan TV, karena Amin adalah suami penyanyi terkenal Kristina.
Sore harinya, KPK menangkap dan menahan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah. Ia dituduh menyalah-gunakan Rp 100 milyar dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) milik BI. Uang itu, Rp 68,5 milyar, dipakai membantu penyelesaian perkara pidana sejumlah bekas pejabat BI. Diduga untuk menyuap para pejabat hukum. Sisanya, Rp 31,5 milyar, diberikan ke sejumlah anggota DPR. Waktu itu, tahun 2003, DPR sedang membahas revisi Undang-Undang BI. Sejumlah anggota DPR diperiksa, walau belum ada yang dinyatakan sebagai tersangka.
Tahun lalu, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Rochmin Dahuri yang diadili dalam perkara penyalahgunaan keuangan di departemennya, membongkar banyak nama politisi yang   menerima uang darinya. Dunia politik Indonesia pun terguncang. Para politisi ramai-ramai membantah. Hanya mantan Ketua MPR Amien Rais yang berani tampil secara kesatria. Ia mengakui menerima dana sekitar Rp 200 juta dari Rochmin dan ia gunakan untuk kampanye pemilihan Presiden (Pilpres).
Tapi Amien tak kepalang tanggung. Ia sekalian bertekad membongkar segala macam permainan dana politik yang terjadi selama ini, termasuk bantuan dari Amerika Serikat untuk salah satu pasangan calon Presiden (Capres).
Tekad Amien tak kesampaian. Ia kemudian bertemu Presiden SBY di Lapangan Terbang Halim Perdanakusumah Jakarta, lalu isu dana politik yang menjadi silang-sengketa itu diselesaikan secara ‘’adat’’. Kasus itu pun hilang dari wacana, dan Amien Rais tak pernah diadili dalam urusan dana Rochmin. Klop.
Namun sesungguhnya masalah mendasar tak pernah diselesaikan. Maka kasus Amien Rais, dana YPPI untuk DPR, atau kasus Al Amin Nasution dan semacamnya akan terus bermunculan. Para anggota DPR atau kaum politisi boleh marah pada group Slank. Tapi ejekan dalam lagu mereka bahwa di mata Mafia Senayan UUD adalah singkatan dari Ujung-Ujungnya Duit, kian lama akan kian sulit dibantah. Keterlibatan para politisi dengan korupsi – baik di legislatif mau pun eksekutif — adalah isu sehari-hari.
Itu tak lain karena Indonesia telah terjebak dengan sistem politik yang amat koruptif. Sebuah sistem yang menyebabkan para pelaku politik harus melakukan korupsi untuk mempertahankan eksistensinya. Bagaima bisa begitu?
Sejak reformasi 1998, Indonesia menggunakan sistem politik dan ekonomi liberal. UUD 1945 dirombak, DPR kemudian memproduksi begitu banyak undang-undang politik atau ekonomi yang pada prinsipnya adalah liberal.
Sekadar contoh, pekan ini, DPR menyetujui undang-undang yang menyebabkan seluruh pelabuhan laut di Indonesia bebas dikelola perusahaan asing. Padahal negeri paling liberal Amerika Serikat saja melarang pelabuhannya dikelola Dubai Port, sebuah BUMN dari Timur Tengah.
Para pendukungnya menyebut Indonesia memasuki era demokratis. Inilah sistem yang katanya ampuh merubuhkan tembok Berlin dan menggulung komunisme di tahun 1990-an. Indonesia dipuja-puji sebagai negara demokrasi terbesar setelah India dan Amerika.

Buku The End of History and the Last Man, yang ditulis Francis Fukuyama, seorang neo-konservatif, di tahun 1992, bagi banyak pendukung sistem liberal di sini, dijunjung seakan kitab suci. Mereka menganggap seluruh dunia merindukan sistem demokrasi liberal, seperti ditulis buku itu, termasuk Indonesia. (Setelah kegagalan Amerika ‘’menyebarkan demokrasi’’ di Iraq, Fukuyama kerepotan dengan bukunya. Pengajar Johns Hopkins University ini kemudian menjadi pengeritik neo-konservatif, kelompok penghasut perang itu).
Dana 26 Juta Dollar dari Amerika
Padahal sebenarnya di tahun 1991, Profesor Samuel P.Huntington dari Universitas Harvard, sudah memberi syarat bagaimana sebuah negara bisa sukses beralih dari sistem otoritarianisme menjadi demokrasi (baca sebagai demokrasi liberal) di dalam buku The Third Wave: Democratization ini the Late Twentieth Century, yang sering jadi rujukan itu.
Huntington menulis bahwa income per capita menjadi syarat demokratisasi. Semakin tinggi income per capita atau pendapatan rata-rata penduduk sebuah negara, semakin mulus peralihan terjadi. Begitu sebaliknya. Negara dengan penduduk miskin yang beralih menjadi demokratis, menurut studi Huntington, kebanyakan akan kembali lagi menjadi otoritarianisme.
Indonesia jelas masuk kategori berpendapatan rendah . Tapi dalam eforia reformasi 1998, siapa peduli petuah Huntington. Apalagi kemudian ternyata ada dana 26 juta dollar dari lembaga donor Pemerintah Amerika Serikat, US-AID, di balik hiruk-pikuk reformasi (lihat artikel Tim Weiner, The New York Times, 20 Mei 1998). Suatu jumlah yang cukup besar untuk menggerakkan apa saja di Indonesia.

Kini, telah 10 tahun reformasi berlangsung. Lihatlah betapa menyedihkan keadaan negeri ini. Yang lebih memilukan sekaligus memalukan, kini Indonesia termasuk di dalam indeks 60 negara gagal tahun 2007 (failed state index 2007). Indeks itu dibuat Majalah Foreign Policy yang berwibawa, bekerja sama dengan lembaga think-tank Amerika, the Fund for Peace.
Banyak ukuran dalam membuat indeks itu. Tapi secara umum disebutkan, antara lain, pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Negara paling gagal adalah Sudan, Iraq, Somalia, dan Zimbabwe. Tapi coba bayangkan Indonesia masuk satu jajaran dengan negeri itu, bersama sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, semacam Timor Timur, Myanmar, Konggo, Haiti, Ethiopia, dan Uganda.
Hari-hari ini, berita radio, TV, dan koran dihiasi kisah penderitaan anak-anak kurang gizi dan kelaparan. Nasi aking menjadi salah satu menu rakyat. Itu terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Malah di Makassar dan beberapa kota lain, dilaporkan orang meninggal dunia karena berhari-hari tak tersentuh makanan.
Indonesia dinyatakankan badan kesehatan PBB, WHO, sebagai negara dengan korban flu burung terbanyak di dunia. Penyakit HIV-AIDS berkembang tak terkendali sampai ke daerah terpencil . Serangan diare di mana-mana. Bemacam penyakit aneh – seperti lumpuh layu – bermunculan. aPengangguran melonjak.
Artinya, kini kemiskinan telah merebak. Pantaslah Indonesia dikategorikan negara gagal. PBB memperhitungkan hampir separuh penduduk Indonesia hidup di bawah dua dollar perhari. Bagaimana orang bisa hidup dengan uang Rp 18.000 sehari di tengah harga pangan meloncat tak terkendali?
Adalah pemandangan sehari-hari menyaksikan antrean panjang di pelbagai pelosok Tanah Air. Beras, minyak tanah, minyak goreng, gas, bagi rakyat miskin harus diperoleh dengan antrean berjam-jam. Itu indikator bahwa Pemerintah tak lagi mampu menyediakan barang kebutuhan pokok yang cukup untuk rakyatnya.
Tapi di tengah kemiskinan dan kelaparan itu ada berita bagus: orang kaya Indonesia justru bertambah kaya. Seperti ditulis majalah bisnis Forbes, 13 Desember 2007, pada tahun lalu, kekayaan para konglomerat Indonesia melompat dua kali lipat. Majalah itu menyebutkan kini Indonesia memiliki 40 konglomerat –- dengan kekayaan minimal 120 juta dollar atau lebih Rp 1 trilyun –- dan yang paling kaya adalah Menko Kesra Aburizal Bakrie.
Sepanjang 2007, kekayaan bersih Aburizal meningkat lebih empat kali lipat, menjadi 5,4 milyar dollar. Sungguh menakjubkan. Dengan itu ia menyalib Sukanto Tanoto, pemilik pabrik pulp dan produsen minyak kelapa sawit terbesar, dengan kekayaan 4,7 milyar dollar.
Rakyat tambah miskin, kenapa konglomerat tambah kaya? Terlalu panjang bila itu dijelaskan dengan rinci di sini. Yang pasti, sistem ekonomi liberal di mana pun di dunia ini – termasuk di Amerika Serikat – menjadikan orang kaya yang segelintir jumlahnya selalu bertambah kaya.

Sejatinya sistem ini memang untuk memanjakan orang kaya. Contoh konkret, lihatlah Amerika Serikat yang sedang dilanda resesi. Pemerintah mau pun The Federal Reserve (biasa disebut The Fed, semacam BI di sini) sibuk membantu, menjamin, atau melobi, agar perusahaan besar selamat dari kebangkrutan. Sementara 2 juta pemilik rumah yang kreditnya macet dan dimiliki orang menengah tak dipedulikan. Mereka harus pindah karena rumahnya akan disita.
Itulah persis yang terjadi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1998. Para konglomerat diselamatkan Pemerintah atas perintah Bank Dunia dan IMF. BI mengucurkan BLBI lebih Rp 600 trilyun. Umumnya dana ini dikemplang para konglomerat. Sementara itu berapa banyak pengusaha kecil dan menengah yang bangkrut oleh krisis tak sedikit pun dipedulikan Pemerintah.
Banyak perlakuan lain yang mengistimewakan para konglomerat. Misalnya, sejak dibentuk KPK sibuk menangkap dan menjebak para koruptor kelas teri – semacam Mulyana W.Kusumah atau Rochmin Dahuri – tapi tak satu konglomerat pun yang terjerat.

Dua konglomerat penerima BLBI paling besar, Syamsul Nursalim dan Anthony Salim, dinyatakan Kejaksaan Agung tak bisa dituntut karena tak cukup bukti. Beberapa hari kemudian KPK menangkap Jaksa Urip, penyidik kasus itu. Ia tertangkap tangan menerima Rp 6 milyar dari Artalyta Suryani, pembantu Syamsul Nursalim. Tapi konglomerat itu tetap aman-aman saja. Keputusan membebaskannya, sekali pun sudah terbukti ada suap di baliknya, tak pernah diralat. Masih kurang jelas?
Lihat kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Ratusan rakyat menjadi korban. Rumah tenggelam, mata pencarian hilang, tapi sampai kini tak seorang pun yang diseret menjadi terdakwa karenanya.
Malah belakangan Pemerintah menetapkan sejumlah korban akan mendapat ganti rugi dari APBN, bukan dari PT Lapindo Brantas. Padahal sudah terungkap sebelumnya, ada tuduhan kesalahan teknis dalam pengeboran sumur minyak dan gas. Pelan-pelan cerita itu kini menghilang. Semua orang tahu, pemilik Lapindo adalah salah satu orang terkaya Indonesia.
Tulisan ini tentu saja tak ingin mempertentangkan kelas kaya dan miskin. Yang hendak dikatakan bahwa semua gejala yang terjadi adalah konsekuensi dari sistem politik dan ekonomi yang digunakan sejak Indonesia memasuki era reformasi 1998.
DPR Cukup Efektif menghasilkan Uang
Marilah membicarakannya dengan jujur, tanpa dusta atau kepura-puraan. Mari melepaskan topeng-topeng yang kita pakai selama ini. Sistem demokrasi kita sekarang, jelas sebuah sistem yang amat mahal, dan sebagaimana studi Profesor Huntington tadi, terbukti sukses di negeri dengan penduduk berpenghasilan tinggi, bukan negeri miskin semacam Indonesia.
Siapa pun setuju, proses pemilihan Presiden Amerika sangat atraktif dan ideal, menjadi panggung .hiburan bagi dunia. Tapi berapa banyak sudah dollar yang dihabiskan para nominator calon presiden Barack Obama, Hillary Clinton, mau pun John McCain, selama satu tahun ini. Padahal pemilihan yang sesungguhnya baru November 2008, masih 7 bulan lagi.
Semua biaya itu bisa diongkosi rakyatnya karena pendapatan perkapita Amerika Serikat 50.000 dollar. Jelas tak bisa dibandingkan dengan Indonesia yang hanya 1000 dollar lebih sedikit. Sebagai pengumpul dana kampanye terbesar, misalnya, sampai akhir Maret lalu, Senator Barack Obama telah memperoleh 234 juta dollar atau Rp 2,1 trilyun. Dalam bulan Maret saja Obama mendapat dana lebih 40 juta dollar, dengan 218.000 penyumbang baru.
Jumlah fantastis itu tak sulit dihimpun, karena Obama memiliki 1,3 juta penyumbang. Berarti, tiap donator rata-rata tak sampai 200 dollar atau Rp 1,8 juta, masih jauh dari batas maksimal sumbangan perorangan yang diperbolehkan undang-undang, 2300 dollar (sekitar Rp 20 juta). Jumlah itu tentu tak memberatkan bagi para Obamania, termasuk untuk membiayai kampanye pemilihan presiden nanti yang jumlahnya pasti lebih besar, bila Obama lolos ke babak final.
Dana kampanye Hillary Clinton memang kalah dari Obama. Begitu pun sampai sekarang ia sudah memperoleh 175 juta dollar atau hampir Rp 1,6 trilyun. Lihatlah konser musik penyanyi Inggris Elton John, untuk mengumpulkan dana bagi Hillary, di Radio City Music Hall, New York, 9 April lalu. Malam itu saja dari penjualan tiket terkumpul 2,5 juta dollar (Rp 22,5 milyar).
Itulah yang tak mungkin terjadi di sini. Sungguh mustahil negeri ini bisa mengongkosi perhelatan politik yang begitu luks, kalau dengan cara yang jujur. Mana ada rakyat yang mampu menyumbang jutaan rupiah kepada calonnya, sementara untuk hidup sehari-hari saja sudah ngos-ngosan. Padahal sekali pun tak sebesar di Amerika Serikat, proses rekrutmen politik di Indonesia tetap butuh biaya yang sangat besar.
Berbagai perhitungan menyebutkan, untuk kampanye menjadi anggota DPR dibutuhkan dana sedikitnya Rp 1 milyar sampai Rp 3 milyar. Untuk bupati Rp 5 milyar sampai Rp 20 milyar, dan gubernur bisa sampai Rp 100 milyar. Apalagi untuk kursi Presiden, jumlahnya bisa berlipat-lipat. Dari mana dana begitu besar diperoleh?
Karena tak ada sumbangan rakyat – prakteknya rakyatlah yang disumbang politisi — mereka mencari dana politik melalui para konglomerat. Itu sudah menjadi rahasia umum. Hal tersebut dimungkinkan untuk politisi dengan posisi tertentu. Tak heran bila konglomerat menempati posisi istimewa. Mungkin ada pula politisi yang mendapat dana dari negara asing, seperti dituduhkan Amien Rais waktu itu.
Pada prakteknya, sumbangan itu nanti dibagi-bagi dalam jumlah kecil, disesuaikan dengan batasan undang-undang. Lalu dicarikan alamat untuk diatas-namakan sebagai penyumbang. Ini jelas penipuan atau praktek korupsi yang lain. Pada Pilpres 2004, misalnya, KPU menemukan alamat penyumbang yang tak jelas. Tapi mana mau KPU mengusutnya. Tampaknya semua sudah tahu sama tahu.
Sumber dana yang lain adalah lembaga negara, apakah departemen, BUMN, atau DPR. Bank BUMN kabarnya termasuk institusi yang efektif dalam mengumpulkan dana kampanye. Begitu pula jabatan penting di daerah. Semakin bergigi sebuah lembaga, semakin efektif ia sebagai kolektor dana politik.
Dengan wewenang yang cukup besar dalam sistem ini, DPR cukup ampuh sebagai mesin pengumpul uang. Apakah melalui pembuatan undang-undang, pengawasan, penyusunan anggaran, atau berbagai aktivitas lain. Buktinya adalah Al Amin Nur Nasution dan kasus yayasan BI. Jadi sebenarnya Al Amin-Al Amin yang lain yang berada di luar penjara jumlahnya lebih banyak lagi. Apalagi sebentar lagi ada Pemilu.
Sesungguhnya apa yang dialami Indonesia, sudah terjadi di Rusia di tahun 1990-an. Sistem politik dan ekonomi liberal disyaratkan IMF dan Bank Dunia untuk Rusia setelah tumbangnya rezim komunis Uni Soviet. Ternyata itu bukan resep yang pas tapi Boris Yeltsin, pemimpin Rusia waktu itu, melaksanakannya dengan patuh.
Kenyataan yang terjadi, politik menjadi kacau-balau dan ekonomi hancur-hancuran. Pada masa itulah bisa dilihat di layar televisi rakyat mengikuti antrean berkilometer di tengah hutan salju, hanya demi sepotong roti. Semua berubah setelah Vladimir Putin menggantikan Yeltsin, akhir 1999.
Belum setahun, April 2000, Carnegie Endowment, sebuah lembaga think-tank dari Washington, melaporkan sejumlah indikator yang mebiarawatijukkan tanda-tanda kebangkitan ekonomi Rusia. ‘’Minyak dan gas tak menonjol dalam pemulihan ekonomi ini,’’ begitu laporan Carnegie Endowment yang dirilis 4 April 2000.
Sulap apa yang dilakukan Putin? Ia campakkan sistem liberal yang dulu dipakai Yeltsin, termasuk hiruk-pikuk pemilihan langsung yang mahal itu. Sejumlah konglomerat nakal yang menangguk untung dari keruhnya kondisi Rusia pada waktu peralihan – dijuluki kaum oligarki – dihadapi Putin. Dan rakyat mendukungnya.
Beberapa di antara mereka lari ke luar negeri. Michail Khodorkovsky, orang terkaya Rusia, harus menjalani hukuman 10 tahun penjara di Siberia. Kini Rusia merupakan salah satu negara dengan perekonomian paling kuat di dunia. Apalagi setelah harga minyak dunia melambung.


Sumber:www. hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar